Arsitektur mesjid yang ada di Sulewesi Selatan pada saat ini masih mengadopsi bentuk serta arsitektur yang ada di timur tengah khususnya pada bagian arab dan sekitarnya. Untuk lebih menambah nilai arsitektur pada bangunan mesjid, biasanya mesjid dibangun dengan menambah gaya modern pada struktur maupun arsitekturnya. Pada pembangunannya yang memiliki bentang lebar biasanya mesjid dibangun dengan rangka atap dengan menggunakan struktur baja. Penggunaan kaca juga banyak diterapkan pada jendela mesjid karena pada umumnya saat ini mesjid dibangun dengan ruangan tertutup dengan menggunakan penghawaan buatan untuk dalam ruangan mesjid.
Berbeda dengan bentuk denah yang ada di Negara bagian Arab yaitu bentuk hypostyle, bentuk denah yang sering digunakan yaitu persegi dan biasanya dengan bentuk simetris, hal ini dikarenakan cuaca di sulsel yang tidak menentu, cuaca yang sangat panas merupakan alasan yang pertama mengapa bentuk denah di Sulsel tidak berbentuk hypostyle. Selain itu, curah hujan yang tinggi dan terus menerus biasanya menghindarkan penggunaan hypostyle pada bentuk denah mesjid.
Berbeda dengan mesjid yang dibangun sebelum gaya modern masuk ke Sulsel, arsitektur mesjid menggunakan bentuk sederhana dengan menggunakan material yang alami seperti kayu. Jendela masih dibiarkan terbuka dengan menggunakan udara alami sebagai penghawaan bagian dalam ruangan mesjid.
Mesjid Katangka Gowa merupakan mesjid pertama yang dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Gowa pada tahun 1603, tetapi pada umumnya tetua tetua yang berada di sekitar Mesjid mengatakan bahwa Mesjid dibangun pada tahun 1527.
Pembangunan Masjid Katangka dilakukan saat Sultan Alauddin berkuasa, sekitar awal abad 17. Sultan Alauddin adalah raja Gowa yang ke 14, Kakek dari Sultan Hasanuddin yang terkenal dengan sebutan Ayam Jago dari Timur.
Mesjid Katangka pada awalnya dibangun untuk menyebarkan agama Islam di Kerajaan Gowa, yang pada saat itu 41 orang yang berasal dari Yaman masuk ke Gowa untuk mengajak Raja Gowa untuk masuk ke agama Islam. Pada saat itu, ke-41 orang tersebut mengajak berdiskusi kepada Raja Gowa di bawah pohon katangka, ini merupakan dasar mengapa mesjid ini dinamakan Mesjid Katangka. Katangka adalah nama sejenis pohon. Pohon Katangka adalah pohon yang menaungi para mubaliq dari Timur Tengah saat memimpin sholat jumat di lokasi itu. Saat akan dibangun masjid, pohon katangka yang ada ditebang dan kayunya digunakan sebagai bahan bangunan utama untuk masjid. Hingga kini, kayu katangka yang pertama kali ditebang saat itu, masih diyakini bertahan sebagai kuda-kuda di bagian atap masjid. Yang lainnya sudah ada mengalami perubahan saat renovasi masjid dilakukan.
Pada masa Kerajaan Gowa, mesjid ini berada di kompleks Kerajaan Gowa, yang pada saat itu, selain sebagai tempat beribadah, mesjid ini juga digunakan sebagai tempat pertahanan pada masa peperangan. Itulah mengapa pada dinding mesjid dibuat mencapai ketebalan 120 cm, dinding yang sangat kokoh membuat tempat ini sebagai tempat pertahanan yang kuat.
Pada saat ini, mesjid digunakan sebagai tempat beribadah rutin, pada bagian belakang serambi mesjid digunakan sebagai tempat mengaji bagi santri-santri yang berada di sekitar mesjid Katangka tersebut. Selain itu mesjid juga digunakan sebagai tempat mengadakan kajian-kajian bagi para ulama dan tetua-tetua yang ada di Kabupaten Gowa.
Mesjid Katangka berbentuk denah bujur sangkar dengan dinding yang terbuat dari batu bata dengan ketebalan 120 cm. Dengan ruang utama tempat shalat berukuran 12 m x 12 m. Mesjid memiliki ruang peralihan sebelum masuk ke dalam ruang utama mesjid yang menyatu dengan atap mesjid, ruangan ini digunakan masyarakat sebagai tempat untuk meminta sedekah kepada bangsawan pada masa kerajaan, sedangkan sekarang ruangan ini digunakan ulama untuk beristirahat setelah melaksanakan ibadah.
Arsitektur mesjid menunjukkan adanya pengaruh arsitektur joglo Jawa, ditandai dengan adanya empat tiang besar yang ada di tengah dalam ruangan, yang identik dengan soko guru dalam arsitektur joglo. Bentuk atapnya pun menyerupai mesjid agung demak yang adalah tempat penyebaran agama islam pertama di Indonesia.
Mesjid memiliki lima pintu dengan maksud rukun islam yang berjumlah lima buah. Untuk dua pintu mesjid yang berfungsi sebagai pintu masuk mesjid digunakan untuk memisahkan jalan masuk antara bangsawan dan rakyat biasa, sedangkan ketiga pintu yang berada di ruang peralihan menuju ruang utama mesjid dimaksudkan untuk memisahkan antara bangsawan, ulama, dan rakyat biasa.
Mesjid memiliki empat tiang utama yang berada di dalam mesjid, menurut sumber jamaah di mesjid tersebut menyatakan bahwa keempat dari tiang tersebut melambangkan keempat sahabat rasul. Keempat tiang tersebut terbuat dari pasangan batu bata dengan model silindris gemuk, seperti tiang pada arsitektu yunani dorik, yang menyerupi kuil Hera pada masa yunani kuno.
Pengaruh cina juga terlihat pada mimbar mesjid, ukiran cina digunakan pada atap mimbar, menurut sumber jamaah mesjid Panglima Cheng Hoo atau menurutnya yaitu Sawerigading sempat melaksanakan ibadah shalat di mesjid ini, itulah mengapa sebabnya ada pengaruh cina yang terdapat di mesjid ini.
Posisi mimbar dari pada masjid katangka sama dengan posisi masjid Al – Aqsa di Jerussalem. Hanya saja material dari mimbar masjid Al – Aqsa lebih mewah di banding mimbar masjid katangka di Gowa yang sederhana. Atap mimbar masjid katangka mirip dengan atap utama dari masjid tersebut yang berbentu limas.
Mihrab ini adalah mihrab di mana imam memimpin shalat dan ukuran mihrab tersebut ± 165 cm. tinggi mihrab dibuat kecil dikarenakan setiap imam yang pemimpin shalat di mesjid ini diharuskan unutk selalu tunduk dan merendahkan diri terhadap Tuhan Allah SWT.
Mesjid memiliki enam buah jendela yang dengan maksud rukun iman yang berjumlah enam buah, keenam jendela tersebut diletakkan masing-masing dua di depan dan samping kiri kanan mesjid.
Struktur pada bangunan menggunakan system struktur pertahanan pada masa Kerajaan Gowa. Dinding pada Masjid Katangka memiliki ketebalan yang sama dengan dinding benteng pertahanan pada umumnya, dengan tebal dinding tersebut mencapai 120 cm.
Dinding memiliki ketebalan 120 cm, karena digunakan untuk melindungi masyarakat yang sedang melakukan ibadah di dalam masjid dari penyerangan musuh pada waktu masa kerajaan.
Dinding masjid tersebut menggunakan material dari batu bata yang berukuran 30x60cm dengan tebal 30cm.
Tiang pada masjid berbentuk silinder gemuk yang menggunakan material yang sama dengan dinding yaitu batu bata. Tinggi tiang tersebut mencapai 4m, dan diameter taing
tersebut 30cm dan 40cm
Lantai dari masjid awalnya menggunakan batu merah yang memiliki ukuran 30cmx30cm dan tebal 2cm. dan sekarang lantai masjid menggunakan lantai keramik yang memiliki ukuran 60cmx60cm. Renovasi lantai dilakukan pada tahun 2009 oleh pemerintah setempat.
Atap masjid yang berbentuk atap limas yang bertrap. Diantara trap tersebut terdapat dinding yang digunakan untuk menaikkan trap pada atap dan tersambung langsung dengan 4 tiang utama masjid. Material atap menggunakan genteng yang terbuat dari tanah liat dan konstruksi kuda kuda yang bahannya dari pohon katangka.
sumber : survey mei 2011
Berbeda dengan bentuk denah yang ada di Negara bagian Arab yaitu bentuk hypostyle, bentuk denah yang sering digunakan yaitu persegi dan biasanya dengan bentuk simetris, hal ini dikarenakan cuaca di sulsel yang tidak menentu, cuaca yang sangat panas merupakan alasan yang pertama mengapa bentuk denah di Sulsel tidak berbentuk hypostyle. Selain itu, curah hujan yang tinggi dan terus menerus biasanya menghindarkan penggunaan hypostyle pada bentuk denah mesjid.
Berbeda dengan mesjid yang dibangun sebelum gaya modern masuk ke Sulsel, arsitektur mesjid menggunakan bentuk sederhana dengan menggunakan material yang alami seperti kayu. Jendela masih dibiarkan terbuka dengan menggunakan udara alami sebagai penghawaan bagian dalam ruangan mesjid.
Mesjid Katangka Gowa merupakan mesjid pertama yang dibangun pada masa pemerintahan Kerajaan Gowa pada tahun 1603, tetapi pada umumnya tetua tetua yang berada di sekitar Mesjid mengatakan bahwa Mesjid dibangun pada tahun 1527.
Pembangunan Masjid Katangka dilakukan saat Sultan Alauddin berkuasa, sekitar awal abad 17. Sultan Alauddin adalah raja Gowa yang ke 14, Kakek dari Sultan Hasanuddin yang terkenal dengan sebutan Ayam Jago dari Timur.
Mesjid Katangka pada awalnya dibangun untuk menyebarkan agama Islam di Kerajaan Gowa, yang pada saat itu 41 orang yang berasal dari Yaman masuk ke Gowa untuk mengajak Raja Gowa untuk masuk ke agama Islam. Pada saat itu, ke-41 orang tersebut mengajak berdiskusi kepada Raja Gowa di bawah pohon katangka, ini merupakan dasar mengapa mesjid ini dinamakan Mesjid Katangka. Katangka adalah nama sejenis pohon. Pohon Katangka adalah pohon yang menaungi para mubaliq dari Timur Tengah saat memimpin sholat jumat di lokasi itu. Saat akan dibangun masjid, pohon katangka yang ada ditebang dan kayunya digunakan sebagai bahan bangunan utama untuk masjid. Hingga kini, kayu katangka yang pertama kali ditebang saat itu, masih diyakini bertahan sebagai kuda-kuda di bagian atap masjid. Yang lainnya sudah ada mengalami perubahan saat renovasi masjid dilakukan.
Pada masa Kerajaan Gowa, mesjid ini berada di kompleks Kerajaan Gowa, yang pada saat itu, selain sebagai tempat beribadah, mesjid ini juga digunakan sebagai tempat pertahanan pada masa peperangan. Itulah mengapa pada dinding mesjid dibuat mencapai ketebalan 120 cm, dinding yang sangat kokoh membuat tempat ini sebagai tempat pertahanan yang kuat.
Pada saat ini, mesjid digunakan sebagai tempat beribadah rutin, pada bagian belakang serambi mesjid digunakan sebagai tempat mengaji bagi santri-santri yang berada di sekitar mesjid Katangka tersebut. Selain itu mesjid juga digunakan sebagai tempat mengadakan kajian-kajian bagi para ulama dan tetua-tetua yang ada di Kabupaten Gowa.
Mesjid Katangka berbentuk denah bujur sangkar dengan dinding yang terbuat dari batu bata dengan ketebalan 120 cm. Dengan ruang utama tempat shalat berukuran 12 m x 12 m. Mesjid memiliki ruang peralihan sebelum masuk ke dalam ruang utama mesjid yang menyatu dengan atap mesjid, ruangan ini digunakan masyarakat sebagai tempat untuk meminta sedekah kepada bangsawan pada masa kerajaan, sedangkan sekarang ruangan ini digunakan ulama untuk beristirahat setelah melaksanakan ibadah.
Arsitektur mesjid menunjukkan adanya pengaruh arsitektur joglo Jawa, ditandai dengan adanya empat tiang besar yang ada di tengah dalam ruangan, yang identik dengan soko guru dalam arsitektur joglo. Bentuk atapnya pun menyerupai mesjid agung demak yang adalah tempat penyebaran agama islam pertama di Indonesia.
Mesjid memiliki lima pintu dengan maksud rukun islam yang berjumlah lima buah. Untuk dua pintu mesjid yang berfungsi sebagai pintu masuk mesjid digunakan untuk memisahkan jalan masuk antara bangsawan dan rakyat biasa, sedangkan ketiga pintu yang berada di ruang peralihan menuju ruang utama mesjid dimaksudkan untuk memisahkan antara bangsawan, ulama, dan rakyat biasa.
Mesjid memiliki empat tiang utama yang berada di dalam mesjid, menurut sumber jamaah di mesjid tersebut menyatakan bahwa keempat dari tiang tersebut melambangkan keempat sahabat rasul. Keempat tiang tersebut terbuat dari pasangan batu bata dengan model silindris gemuk, seperti tiang pada arsitektu yunani dorik, yang menyerupi kuil Hera pada masa yunani kuno.
Pengaruh cina juga terlihat pada mimbar mesjid, ukiran cina digunakan pada atap mimbar, menurut sumber jamaah mesjid Panglima Cheng Hoo atau menurutnya yaitu Sawerigading sempat melaksanakan ibadah shalat di mesjid ini, itulah mengapa sebabnya ada pengaruh cina yang terdapat di mesjid ini.
Posisi mimbar dari pada masjid katangka sama dengan posisi masjid Al – Aqsa di Jerussalem. Hanya saja material dari mimbar masjid Al – Aqsa lebih mewah di banding mimbar masjid katangka di Gowa yang sederhana. Atap mimbar masjid katangka mirip dengan atap utama dari masjid tersebut yang berbentu limas.
Mihrab ini adalah mihrab di mana imam memimpin shalat dan ukuran mihrab tersebut ± 165 cm. tinggi mihrab dibuat kecil dikarenakan setiap imam yang pemimpin shalat di mesjid ini diharuskan unutk selalu tunduk dan merendahkan diri terhadap Tuhan Allah SWT.
Mesjid memiliki enam buah jendela yang dengan maksud rukun iman yang berjumlah enam buah, keenam jendela tersebut diletakkan masing-masing dua di depan dan samping kiri kanan mesjid.
Struktur pada bangunan menggunakan system struktur pertahanan pada masa Kerajaan Gowa. Dinding pada Masjid Katangka memiliki ketebalan yang sama dengan dinding benteng pertahanan pada umumnya, dengan tebal dinding tersebut mencapai 120 cm.
Dinding memiliki ketebalan 120 cm, karena digunakan untuk melindungi masyarakat yang sedang melakukan ibadah di dalam masjid dari penyerangan musuh pada waktu masa kerajaan.
Dinding masjid tersebut menggunakan material dari batu bata yang berukuran 30x60cm dengan tebal 30cm.
Tiang pada masjid berbentuk silinder gemuk yang menggunakan material yang sama dengan dinding yaitu batu bata. Tinggi tiang tersebut mencapai 4m, dan diameter taing
tersebut 30cm dan 40cm
Lantai dari masjid awalnya menggunakan batu merah yang memiliki ukuran 30cmx30cm dan tebal 2cm. dan sekarang lantai masjid menggunakan lantai keramik yang memiliki ukuran 60cmx60cm. Renovasi lantai dilakukan pada tahun 2009 oleh pemerintah setempat.
Atap masjid yang berbentuk atap limas yang bertrap. Diantara trap tersebut terdapat dinding yang digunakan untuk menaikkan trap pada atap dan tersambung langsung dengan 4 tiang utama masjid. Material atap menggunakan genteng yang terbuat dari tanah liat dan konstruksi kuda kuda yang bahannya dari pohon katangka.
sumber : survey mei 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar