1.
Pengertian struktur
ruang kota
Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman, sistem
jaringan serta sistem prasarana
maupun sarana.
Semua hal itu berfungsi sebagai
pendukung
kegiatan sosial-ekonomi yang secara hirarki berhubungan
fungsional. Tata ruang merupakan wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang
baik yang direncanakan maupun tidak. Wujud struktural pemanfaatan ruang adalah susunan
unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial, dan lingkungan buatan yang
secara hirarkis dan struktural berhubungan satu dengan yang lainnya membentuk tata
ruang. Dalam suatu kota terdapat hierarki pusat
pelayanan kegiatan perkotaan, seperti pusat
kota, pusat bagian wilayah kota, dan pusat lingkungan yang ditunjang dengan
sistem prasarana jalan seperti
jalan arteri, jalan kolektor dan jalan
lokal.
Ilmu Struktur Ruang
Kota merupakan ilmu yang
membahas
tentang bagaimana pola-pola penggunaan lahan di kawasan kota. Menurut Hadi Sabari Yunus
dalam buku Struktur Ruang Kota (2000) berpendapat bahwa ada 5 (lima) kategorisasi pendekatan-pendekatan tentang
penggunaan lahan kota, yaitu:
·
Pendekatan Ekologikal (Ecological Approach).
·
Pendekatan Ekonomi (Economic
Approach).
·
Pendekatan Morfologikal (Urban Morphological Approach).
·
Pendekatan Sistem Kegiatan (Activity
Systems Approach).
·
Pendekatan Ekologi Faktoral (Factoral Ecology Approach).
Pendekatan
Ekologikal oleh McKenzie
(1925) diartikannya sebagai suatu studi
hubungan spatial
dan temporal dari manusia yang dipengaruhi oleh kekuatan,
selektif, distributif,
dan akomodatif dari pada lingkungan. Pendekatan Ekonomi oleh Cooley (1894) dan Weber (1895) mengemukakan bahwa jalur transportasi dan titik
simpul (pertemuan beberapa jalur transportasi) dalam
suatu sistem transportasi mempunyai peran yang cukup besar terhadap perkembangan kota. Pendekatan Morfologi Kota oleh (Hebert, 1973) mengemukakan bahwa tinjauan terhadap
morfologi kota ditekankan pada bentuk-bentuk fisikal dari
lingkungan kekotaan dan
hal ini dapat diamati dari kenampakan kota secara fisikal yang antara lain tercermin
pada sistem jalan-jalan yang ada, blok-blok
bangunan baik daerah hunian maupun bukan (perdagangan/industri) dan juga
bangunan-bangunan individual.
Pendekatan Sistem Kegiatan (Chapin, 1965) diartikan secara komprehensif sebagai
suatu upaya untuk
memahami pola-pola perilaku dari
perorangan, lembaga-lembaga dan firma-
firma yang
mengakibatkan
terciptanya
pola-pola keruangan
di
dalam
kota. Pendekatan Ekologi Faktoral, hal
ini
digunakan untuk
menganalisis struktur keruangan kota (urban spatial structure) dengan
menggunakan analisis faktor sebagai tekniknya.
Secara konsepsional, unsur-unsur pembentuk struktur
tata ruang kota telah
dikemukakan oleh banyak pakar. Menurut Doxiadis, perkotaan atau permukiman kota merupakan totalitas lingkungan
yang terbentuk oleh 5 unsur, yakni alam (nature), individu manusia (antropos), masyarakat
(society), ruang kehidupan (shells), dan jaringan (network). Dalam
perspektif yang berbeda,
menurut Patrick Geddes,
karakteristik permukiman sebagai suatu kawasan
memiliki unsur yaitu place (tempat
tinggal); work (tempat kerja); folk
(tempat bermasyarakat).
Kus Hadinoto (1970-an) mengadaptasinya menjadi
5 unsur pokok, yaitu wisma, tempat tinggal (perumahan); karya: tempat bekerja
(kegiatan usaha); marga,
jaringan pergerakan, jalan; suka, tempat rekreasi/hiburan; penyempurna, prasarana
dan sarana. Unsur pembentuk struktur tata ruang kota dapat pula dipahami secara persepsional seperti dikemukakan
oleh Kevin Lynch yang menyatakan
sifat suatu objek fisik
menyebabkan kemungkinan besar membuat citra (image) yang kuat pada
setiap orang. Menurutnya ada lima unsur dalam gambaran mengenai kota yaitu path, edge,
district, node, dan landmark. Sebagai
wujud struktural pemanfaatan ruang, kota terdiri dari susunan
unsur-unsur pembentuk kawasan perkotaan secara
hierarkis dan struktural yang
berhubungan satu
dengan lainnya
membentuk tata ruang kota.
Adapun elemen-elemen
yang membentuk
struktur ruang kota (Sinulingga, 2005:97) yaitu:
· Kumpulan dari pelayanan jasa
termasuk di dalamnya perdagangan, pemerintahan, keuangan
yang cenderung terdistribusi
secara berkelompok dalam
pusat pelayanan.
· Kumpulan dari industri sekunder (manufaktur) pergudangan
dan perdagangan grosir yang cenderung
untuk berkumpul pada suatu tempat.
· Lingkungan permukiman sebagai tempat tinggal dari manusia dan ruang terbuka hijau.
·
Jaringan transportasi yang menghubungkan
ketiga tempat di atas.
2.
Bentuk dan model struktur ruang
Bentuk struktur ruang kota apabila
ditinjau dari pusat
pelayanan
(retail)
terbagi menjadi
tiga, yaitu (Sinulingga, 2005:103-105):
(a)
Monocentric City
Monocentric City adalah kota yang belum
berkembang pesat, jumlah
penduduknya belum banyak, dan hanya mempunyai satu pusat pelayanan yang sekaligus berfungsi
sebagai Central Bussines
District (CBD).
(b)
Polycentric City
Perkembangan kota
mengakibatkan pelayanan oleh satu pusat pelayanan
tidak efisien lagi. Kota-kota
yang bertambah besar
membutuhkan lebih
dari satu pusat pelayanan yang jumlahnya tergantung pada jumlah penduduk kota. Fungsi pelayanan CBD diambil alih oleh pusat pelayanan baru
yang dinamakan sub pusat kota (regional centre) atau pusat
bagian wilayah kota.
Sementara itu
secara berangsur- angsur berubah dari pusat pelayanan retail (eceran)
menjadi komplek perkantoran komersial yang daya jangkauan
pelayanannya dapat mencakup bukan hanya wilayah kota saja, tetapi wilayah sekeliling
kota yang disebut juga wilayah pengaruh kota.
CBD dan beberapa sub pusat kota atau pusat
bagian
wilayah kota (regional centre) akan
membentuk kota menjadi polycentric city atau cenderung
seperti multiple nuclei
city yang terdiri dari:
·
CBD, yaitu pusat kota lama yang telah menjadi kompleks perkantoran.
· Inner suburb (kawasan sekeliling CBD), yaitu bagian kota yang
tadinya dilayani oleh CBD waktu kota belum berkembang dan setelah
berkembang sebagian masih dilayani oleh CBD tetapi
sebagian lagi
dilayani oleh sub pusat kota.
· Sub
pusat kota, yaitu pusat pelayanan yang kemudian
tumbuh sesuai perkembangan
kota.
· Outer suburb (pinggiran kota), yaitu bagian
yang merupakan perluasan wilayah kegiatan kota dan dilayani
sepenuhnya oleh sub pusat kota.
·
Urban fringe (kawasan perbatasan kota), yaitu pinggiran kota yang secara berangsur-angsur tidak menunjukkan kota lagi, melainkan mengarah
ke bentuk pedesaan (rural area).
(c)
Kota Metropolitan
Kota Metropolitan
adalah kota besar yang dikelilingi
oleh kota-kota satelit
yang terpisah cukup jauh dengan urban fringe dari kota tersebut, tetapi semuanya membentuk satu kesatuan sistem
dalam pelayanan penduduk wilayah metropolitan.
Adapun model struktur ruang apabila
dilihat berdasarkan pusat-pusat pelayanan diantaranya adalah:
·
Mono Centered
Terdiri dari
satu pusat dan beberapa sub pusat yang tidak saling
terhubung antara sub pusat yang satu dengan sub pusat
yang lain.
·
Multi
Nodal
Terdiri dari satu
pusat dan beberapa sub
pusat daan sub-sub pusat yang saling terhubung satu sama lain. Sub-sub
pusat selain terhubung langsung dengan sub pusat juga
terhubung
langsung dengan pusat.
·
Multi
Centered
Terdiri dari
beberapa pusat dan sub
pusat yang saling terhubung satu
sama lain.
·
Non Centered
Gambar 2.1 Model Struktur Ruang
Sumber: Sinulingga (2005)
Gambar 2.2
Tipologi Struktur Ruang
Sumber:
Wiegen
(2005)
3.
Perkembangan Kota dan Struktur Ruang
Perkembangan perkotaan adalah suatu proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu keadaan
ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Sorotan
perubahan keadaan tersebut biasanya didasarkan pada waktu yang berbeda dan untuk
menganalisis ruang yang sama. Menurut J.H.Goode
dalam Daldjoeni (1996:87), perkembang kota dipandang sebagai fungsi dari pada
faktor-faktor jumlah penduduk,
penguasaan alat atau lingkungan,
kemajuan teknologi dan kemajuan dalam organisasi sosial. Sedangkan menurut Bintarto
(1989), perkembangan kota dapat dilihat dari aspek zona-zona yang berada di dalam wilayah perkotaan.
Dalam konsep ini Bintarto menjelasakan perkembangan kota tersebut terlihat
dari penggunaan yang membentuk zona-zona
tertentu di dalam ruang perkotaan sedangkan menurut Branch (1995), bentuk kota secara keseluruhan mencerminkan posisinya secara geografis dan karakteristik tempatnya.
Branch juga mengemukakan
contoh pola-pola perkembangan
kota pada medan datar dalam bentuk
ilustrasi seperti:
1. Tofografi.
2. Bangunan.
3. Jalur Transportasi.
4. Ruang Terbuka.
5. Kepadatan
Bangunan.
6. Iklim Lokal.
7. Vegetasi Tutupan.
8. Kualitas
Estetika.
Secara skematik
Branch, menggambar 6 (enam)
pola
perkembangan
kota
(Gambar 2.3).
Gambar 2.3 Pola Umum Perkembangan
Perkotaan
Sumber:
Branch, 1996
Berdasarkan
pada penampakan morfologi kota
serta jenis penyebaran areal
perkotaan yang ada, Hudson dalam Yunus (1999), mengemukakan
beberapa alternatif
model bentuk kota.
Secara garis besar ada 7 (tujuh) buah model bentuk kota
yang disarankan, yaitu:
1.
Bentuk Satelit dan Pusat-pusat Baru (satelite and neighbour plans), kota utama dengan kota-kota
kecil akan dijalin hubungan pertalian fungsional
yang efektif dan efisien.
2.
Bentuk Stellar atau Radial (stellar or radial plans), tiap lidah dibentuk pusat
kegiatan kedua yang berfungsi memberi pelayanan pada areal perkotaan yang menjorok ke dalam direncanakan sebagai jalur hijau
dan berfungsi sebagai paru-paru kota, tempat rekreasi
dan tempat olah raga
bagi penduduk kota.
3.
Bentuk Cincin (circuit linier or ring plans), kota berkembang disepanjang
jalan utama yang melingkar,
di bagian tengah wilayah dipertahankan sebagai daerah
hijau terbuka.
4.
Bentuk Linier Bermanik (bealded linier plans), pusat perkotaan yang lebih
kecil tumbuh di bagian
kanan-kiri pusat
perkotaan utamanya,
pertumbuhan perkotaan hanya terbatas di sepanjang jalan utama maka pola umumnya linier, di
pinggir jalan biasanya ditempati bangunan
komersial
dan di belakangnya ditempati permukiman
penduduk.
5. Bentuk
Inti/Kompak (the core or compact plans),
perkembangan kota biasanya lebih didominasi oleh perkembangan vertikal
sehingga memungkinkan terciptanya konsentrasi banyak bangunan pada areal kecil.
6. Bentuk Kota Bawah Tanah (underground city plans), struktur perkotaannya dibangun di bawah permukaan bumi sehingga
kenampakan morfologinya tidak dapat
diamati pada permukaan bumi, di daerah atasnya berfungsi
sebagai jalur hijau atau daerah
pertanian yang tetap hijau.
Gambar 2.4 Beberapa Alternatif Bentuk
Kota
Sumber:
Hudson, 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar